Sabtu, 28 Juni 2008

Transparansi Biaya Perkara

PERSEPSI bahwa Mahkamah Agung (MA) adalah lembaga tertutup, kebal kritik, dan tidak transparan tidak sepenuhnya dan tidak selamanya benar. Ada indikasi bahwa MA mengubah dirinya. 
Buktinya, MA telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 04 Tahun 2008 tentang Pemungutan Biaya Perkara. Surat edaran yang keluar per 13 Juni 2008 itu memerintahkan penertiban biaya perkara di seluruh institusi peradilan yang berada di bawah kewenangan MA. Hal itu meliputi perkara perdata, perkara perdata agama, dan perkara tata usaha negara. Semua pembayaran biaya atas perkara-perkara tersebut harus dilakukan melalui bank. 
Dengan sistem itu, masyarakat yang beperkara tidak perlu lagi membawa uang tunai dan membayar ke pengadilan. Dengan membayar langsung melalui bank, terbukalah pintu menuju transparansi dan akuntabilitas. 
Modus baru atas pembayaran biaya perkara itu dimaksudkan agar proses tatap muka langsung antara aparat dan pencari keadilan semakin dikurangi, semakin ditinggalkan. Sebab, transaksi langsung antara yang beperkara dan lembaga pengadilan lebih memungkinkan munculnya pikiran dan perbuatan negatif sekaligus menjatuhkan citra MA. 
Perubahan itu tentu saja memberi harapan sangat besar. Namun, itu tidak otomatis membuat citra MA segera membaik. Publik juga tidak lantas percaya bahwa sesuatu yang luar biasa baik tengah berlangsung di MA. 
Pasalnya, dalam konteks persepsi, MA telanjur telah meninggalkan rekam jejak yang tidak sensitif, tidak akomodatif, dan tidak kooperatif terkait dengan tuntutan transparansi dan akuntabilitas atas biaya perkara. Apalagi, sebelumnya, Ketua MA Bagir Manan cenderung mengedepankan sikap keras kepala, tertutup, dan resisten. Itu terjadi saat Bagir menolak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit biaya perkara itu. 
Namun, kini Bagir Manan mengambil langkah pembaruan yang menunjukkan profesor hukum itu pun responsif terhadap kritik. Ia ingin menegakkan kredibilitas MA. Sebuah langkah yang harus didukung dan diapresiasi. 
Di Mungkid, Jawa Tengah, baru-baru ini, misalnya, Bagir meminta seluruh jajaran pengadilan membatasi diri, tidak bertemu para pihak yang diduga calo perkara. "Bentengi diri kita dengan menghindari hal-hal tidak terpuji sehingga tidak membuka peluang bagi orang untuk menghancurkan kita." Kalimat itu keluar langsung dari mulut Bagir. 
Jelas, itu sangat menggembirakan. Jauh lebih menggembirakan lagi bila instruksi itu tidak berhenti sebatas lafal, tetapi berlanjut dalam implementasi kebijakan berupa tindakan nyata. Hal tersebut menyangkut bagaimana MA dan seluruh aparat mengubah mental, moral, dan etos agar menjadi teladan masyarakat, untuk menjunjung tinggi hukum. 
Banyaknya kasus yang menyeret pejabat kejaksaan dan kehakiman, akhir-akhir ini, membuat kredibilitas lembaga penegakan hukum berada dalam bahaya besar. Sebagai benteng terakhir bagi pencari keadilan, teladan dari MA tentu sudah menjadi sebuah urgensi, bahkan keniscayaan. 
Memang, transparansi biaya perkara hanyalah langkah kecil untuk menegakkan kembali wibawa lembaga peradilan. Tetapi, di sana ada momentum untuk membuat langkah besar, demi tegaknya kebenaran dan keadilan. Itu yang kita tunggu dari MA.

0 komentar: