Kamis, 26 Juni 2008

Sepak Bola sebagai Industri

SEPAK bola kini bukan lagi sekadar olahraga atau permainan. Ia telah menjadi komoditas yang tidak berbeda dengan produk lain yang beredar dalam sistem pasar. Ia telah menjadi industri. 
Euro 2008, pertandingan sepak bola di kalangan negara-negara Eropa yang tengah berlangsung di Swiss dan Austria, hingga akhir bulan ini, bukan pengecualian dari premis ini. Dalam event yang berlangsung empat tahun sekali itu ada mekanisme yang mempertemukan hukum permintaan dan penawaran. Di sana ada tim, pemain, pelatih, dan penyelenggara sebagai pemasok. Di sana ada pula pemirsa yang membeli permainan, tontonan, drama, dan hiburan sebagai komoditas. 
Dari waktu ke waktu, pertandingan sepak bola, apalagi yang bertaraf internasional seperti Euro 2008, bukan lagi semata arena pertandingan yang mengadu ketangguhan, kekuatan, dan kecerdasan tim sebuah negara. Semangat nasionalisme yang mendominasi event-event sejenis pada era 1950-an atau 1970-an memang masih ada. Tetapi, kadarnya semakin lama semakin jauh berkurang. Yang lebih menonjol adalah penguatan hukum pasar yang berkembang sedemikian rupa menjadi industri. 
Sepak bola di Eropa, Amerika, Asia, dan bahkan Afrika adalah aktivitas manusia yang telah menjadi salah satu ukuran peradaban. Semakin maju prestasi sebuah tim dalam sebuah kompetisi, semakin tinggi penghargaan yang diperoleh tim tersebut. 
Pemain-pemain profesional yang berkualitas menjadi incaran dalam bursa bernilai triliunan rupiah. Di sana, ada pula bursa pelatih, dan bursa penyelenggaraan yang lantas berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan. 
Karena itu, adalah jamak bila sepak bola kemudian menjadi pusat impian dan harapan bagi anak-anak muda dunia untuk meningkatkan kelas sosial mereka. Dari kelas pekerja menjadi kelas pemodal. Dari kelas pesuruh menjadi kelas pengatur. Dan hasilnya adalah bertaburannya orang-orang terkaya dalam usia sangat muda. 
David Beckham, Wayne Rooney, dan Christiano Ronaldo adalah generasi orang-orang muda terkaya yang lahir dari kebudayaan populer itu. Sebagai hero, pamor, dan kekayaan mereka tidak kalah dari para bintang di pusat industri film Amerika, Hollywood. Juga tidak mencengangkan bila gaji mereka jauh lebih tinggi daripada gaji seorang perdana menteri Inggris. 
Event seperti Euro 2008 dari waktu ke waktu pada akhirnya hanyalah tapal batas dari fenomena yang semakin lama semakin menjadi magnet dan penggerak. Magnet dari pusat kebudayaan dunia, penggerak bagi pertumbuhan roda ekonomi. Ia adalah bagian tidak terpisahkan dari daya tarik kapitalisme global yang tidak terelakkan. 
Ironisnya, Indonesia tidak mampu menjadi bagian dari peradaban itu. Event, bursa pemain, dan penyelenggaraan kompetisi sepak bola memang ada. Tetapi, di situ tidak berlangsung transformasi yang menyehatkan, mencerahkan, dan meninggikan martabat. 
Negara melalui PSSI telah gagal dalam mengubah aktivitas ini menjadi industri yang berkualitas. Hasilnya adalah budaya pasif yang menghasilkan penonton. Bukan keuntungan, kekayaan, dan kemakmuran. 
Karena, seperti yang terjadi di bidang lain, dalam pasar sepak bola global, Indonesia hanyalah pembeli. Kita tidak pernah mampu menjual.

0 komentar: