Kamis, 26 Juni 2008

BLT: Antara Data Miskin dan Miskin Data

BANTUAN Langsung Tunai (BLT) menjadi pilihan terakhir pemerintah sebagai kompensasi atas kenaikan harga minyak yang diberlakukan sejak Jumat (23/5) lalu.

Oleh: Puji Winarta
Praktisi Kesehatan

Keputusan itu menuai banyak protes, demo penolakan terjadi di mana - mana. Keputusan menaikkan harga minyak dikatakan tidak memperhatikan rakyat miskin, namun pmerintah tetap bersikukuh kalau harga minyak tidak dinaikkan APBN akan ‘jebol’. Asumsinya, harga minyak dalam APBN dengan harga minyak dunia jauh melonjak sehingga subsidi pemerintah yang diberikan akan semakin menguras duit rakyat, padahal masih kata pemerintah lagi, subsidi minyak yang diberikan ternyata sebagian besar dinikmati oleh orang kaya. 

Akhirnya subsidi itu dicabut, harga minyak dinaikkan, kemudian duit yang untuk subsidi minyak itu sebagian dikembalikan kepada rakyat miskin melalui BLT. Pertanyaannya adalah, seberapa efektifkah BLT untuk rakyat miskin? Rakyat miskin yang mana?

Mari kita belajar dari pengalaman pengucuran BLT tahun 2005. Pada waktu itu pemerintah melibatkan 56 perguruan tinggi (PT) dan lima organisasi, yaitu Nahdatul Ulama (NU), Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), PKK dan Forum Komunisasi Pekerja Sosial Masyarakat (FKPSM) untuk memantau efektivitas pengucuran BLT untuk rakyat miskin.

Hasilnya antara lain menyebutkan bahwa pengucuran BLT sebagai kompensasi kenaikan harga BBM mempunyai efektivitas 54,96 persen. Efektivitas menunjukkan seberapa jauh BLT dapat meringankan beban pengeluaran rumah tangga miskin penerima BLT. 

Melihat angka tersebut, pemberian BLT tidak akan memberikan arti yang signifikan. Apalagi pemberian itu hanya akan diberikan sesaat, dalam jangka waktu tertentu, tidak seperti tunjangan sosial yang diberikan di negara - negara maju.  

Sementara ketepatan sasaran BLT 2005 mencapai 90,26 persen dan ketepatan jumlah yang diterima mencapai 88 persen. Ini berarti ada sekitar 9,74 persen rumah tangga penerima BLT yang seharusnya tidak menerima BLT dan 12 persen rumah tangga penerima BLT yang menerima BLT kurang dari jumlah yang semestinya. 

Jika jumlah rumah tangga miskin yang berhak menerima BLT waktu itu sekitar 19.341.246, maka ada sekitar 1.883.837 rumah tangga yang seharusnya tidak menerima BLT menerima BLT dengan dana sekitar Rp 188.883. 700.000 per bulan yang tidak tepat sasaran. 

Kemudian ada sekitar 2.320.950 rumah tangga miskin yang menerima BLT kurang dari jumlah yang sebenarnya. Berarti ada pemotongan oleh oknum. Kalau diasumsikan dipotong Rp 1.000 saja, maka ada sekitar Rp 2.320.950.000 yang tidak sampai kepada yang berhak.
Data Miskin dan Miskin Data

Data adalah sesuatu yang belum berarti apa - apa. Data harus di up date agar terus berguna karena penyimpangan/ bias dari nilai sebenarnya akan semakin kecil. 

Kapan data harus di up date? Banyak orang di Badan Pusat Statistik (BPS) yang pintar, jadi nggak usah diajari. 

BPS sendiri kebingungan ketika harus menyediakan data rumah tangga miskin, apalagi keputusan pemerintah yang begitu mendadak dan rentang waktu yang tersedia untuk pendataan, pengucuran BLT dan pengumuman kenaikan harga minyak begitu dekat sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan pendataan. Akibatnya dipakailah data rumah tangga miskin tahun 2005. 

Ini menggambarkan bahwa pemerintah tidak punya data baru, sehingga validitasnya pun dipertanyakan. Sebegitu miskin datakah kita sehingga data rumah tangga miskin yang baru tidak ada?

Tiga tahun berlalu tentunya akan banyak perubahan pada jumlah penduduk miskin dan rumah tangga miskin. Padahal harusnya ada suatu mekanisme untuk pendataan ini. Tidak usah menunggu sensus, bukankah data penduduk dan rumah tangga miskin sekarang sangat diperlukan? Untuk program berobat gratis atau program sekolah gratis. 

Pemberian BLT 2005 memberi banyak pelajaran sosial dan perubahan sosial yang begitu banyak di masyarakat. Akibat miskin data, terjadi perbedaan data di lapangan akibatnya banyak kepala desa/ lurah yang didemo warganya bahkan ada yang dikeroyok. Padahal pendataan waktu itu sudah dilakukan sebelumnya. 

Apalagi penyaluran BLT sekarang ini memakai data tahun 2005. Akibatnya banyak terjadi penolakan untuk menyalurkan BLT dari ketua RT/ RW, kepala desa/ lurah dan beberapa daerah juga menolak. Mungkin mereka trauma dengan kejadian tahun 2005. 

Tetapi pemerintah bersikukuh dengan data tahun 2005, karena menurut perhitungan dari 2005 sampai 2008 jumlah penduduk miskin di Indonesia berkurang, sehingga uang yang dialokasikan untuk BLT cukup untuk disalurkan. 

Secara nasional mungkin betul, tetapi bagaimana kalau secara individu. Mungkin akan banyak perubahan, karena penduduk yang dulu hampir miskin sekarang jadi miskin, atau yang dulu miskin sekarang tidak miskin. Dan jangan lupa sekarang ada sebagian orang yang lebih suka mengaku miskin karena akan banyak fasilitas, dapat BLT berobat gratis atau sekolah gratis. Banyak untungnya bukan?

Ketidakakuratan data juga bisa mengakibatkan penyimpangan. Katakanlah di suatu desa data tahun 2005 ada 100 keluarga miskin yang berhak menerima BLT, kemudian pada 2008 ini kenyataan di lapangan ada 90 keluarga miskin. Ada dua kemungkinan, BLT tetap diberikan kepada 100 keluarga itu atau BLT diberikan kepada 90 keluarga miskin sedangkan 10 sisanya diberikan kepada keluarga yang dianggap ‘miskin’ karena dekat dengan oknum yang mendata atau ada hubungan famili misalnya. 

Akibat yang lain, antar tetangga bisa tidak akur karena cemburu yang tidak miskin dapat bantuan, sementara yang miskin tidak dapat BLT.

Data itu penting, tentunya yang valid. Dari data kita bisa membuat perencanaan yang tepat, baik itu tepat sasaran maupun tepat guna. 

Untuk mendapatkan data yang valid, ya harus divalidasi dengan pendataan, sehingga data itu akan selalu siap digunakan

sumber www.banjarmasinpost.co.id

0 komentar: