Kamis, 26 Juni 2008

Kartel SMS yang Menghambat Pertumbuhan

PERSEKONGKOLAN yang merugikan masyarakat dapat dilakukan siapa saja, termasuk korporasi. Praktik kesepakatan harga atau kartel oleh enam operator telepon seluler dalam bisnis layanan pesan pendek (SMS) adalah salah satu contohnya. 
Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menetapkan enam operator telekomunikasi bergerak, yakni PT Telkomsel, PT Excelkomindo Pratama (XL), PT Telkom Tbk (Flexi), PT Bakrie Telecom (Esia), PT Mobile-8 Telecom Tbk (Fren), dan PT Smart Telecom (Smart) sebagai pelaku kartel. Mereka adalah para pihak yang dinyatakan telah merugikan konsumen Rp2,827 triliun, melalui kesepakatan untuk menetapkan harga SMS jauh di atas kewajaran. 
Itulah praktik tidak terpuji yang patut disesalkan. Selain merugikan masyarakat, praktik itu sejatinya menghambat pengembangan bisnis telekomunikasi bergerak secara keseluruhan. 
Itu juga menjadi indikasi betapa operator menjalankan bisnis secara tidak kompetitif dan tidak kreatif. Yang jauh lebih buruk daripada itu adalah selain memanipulasi keawaman konsumen tanpa peduli etika bisnis, praktik bisnis tersebut melawan arus perkembangan telekomunikasi bergerak di level global. Itu jelas kecenderungan yang tidak sehat. 
Yang terjadi pada level global adalah konvergensi antara telekomunikasi bergerak dan internet. Para pelaku bisnis bersaing meningkatkan layanan content, mengembangkan produk kreatif berbasis data pada jaringan pita lebar atau broadband, serta menjadikan biaya percakapan dan SMS bukan sekadar semakin murah, melainkan menuju titik nol dalam soal biaya. Percakapan dan SMS hanyalah paket kecil bagian dari bonus. 
Di Indonesia, kecenderungan itu tidak berlangsung. Operator malas berkreasi dan mengandalkan bisnis hanya pada biaya percakapan dan SMS. Yang terjadi adalah kemandekan dalam pengembangan bisnis telekomunikasi bergerak. 
Semestinya, operator belajar atas kesuksesan mereka sendiri. Bila mereka sukses mengedukasi publik sehingga percakapan dan SMS via ponsel kini menjadi kelaziman, pola sejenis mestinya dapat dilakukan untuk membudayakan penggunaan teknologi generasi ketiga atau 3G serta teknologi lain yang lebih mutakhir, sekaligus membuatnya terjangkau secara biaya. Pertumbuhan pun dapat diraih bukan melalui kartel. 
Tepatlah bila masyarakat menuntut ganti rugi kepada operator dengan melayangkan class action. Harapannya, operator tidak sewenang-wenang terhadap pengguna jasa, sekaligus mendorong mereka jauh lebih kreatif dalam berbisnis. 
Pemerintah memang masih harus melengkapi infrastruktur bidang telekomunikasi bergerak. Tetapi, operator juga harus lebih sensitif terhadap konsumen. 
Pemerintah tidak perlu ragu menerbitkan izin masuk teknologi baru seperti wimax (world interoperability for microwave access) agar iklim usaha di bidang telekomunikasi bergerak jauh lebih kompetitif. Dengan demikian konsumen tak harus membayar biaya percakapan dan SMS. 
Telekomunikasi bergerak adalah jalan raya dan tulang punggung bagi pertumbuhan ekonomi global abad ke-21. Pelaku bisnis bidang ini sudah seharusnya mewujudkan hal itu dengan persaingan sehat. Bukan mengandalkan cara-cara terbelakang dalam meraih untung melalui kartel, menghambat pertumbuhan, dan membebani masyarakat.

0 komentar: