Jumat, 27 Juni 2008

Memberangus Pers melalui Aturan Pemilu

ANCAMAN terhadap kebebasan pers di negeri ini sepertinya tidak pernah berhenti. Ironisnya, itu juga masih terjadi di era keterbukaan dan demokrasi seperti sekarang ini.
Justru di era yang mengagungkan kebebasan ini barisan pengancam kian beragam. Bukan hanya berasal dari pemerintah sebagaimana yang pernah terjadi di era Orde Baru, melainkan juga negara dengan segala perangkatnya.
Dengan dalih kebebasan pers telah menjelma menjadi kebablasan pers, negara mulai gemar memagari pers dengan rupa-rupa rambu dan jeratan. Jeratan yang bukan lagi linear, melainkan sudah membentuk lingkaran bak rantai yang kait-mengait.
Pers dijerat pengadilan yang gemar mengakomodasi pasal-pasal pidana. Pers juga diancam dibangkrutkan pihak-pihak yang merasa dicemarkan nama baiknya.
Yang terakhir, pers hendak dimatikan wakil rakyat melalui Undang-Undang Pemilu. Celakanya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu hendak memberikan legitimasi tambahan atas produk undang-undang yang antidemokrasi itu.
Melalui draf peraturan yang sedang dibahas, KPU mengancam akan memberedel media massa yang tidak memenuhi aturan tentang kampanye. Di Pasal 24 ayat (1) huruf f draf Peraturan KPU disebutkan sanksi pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa yang 'membandel'.
Ancaman bagi media massa itu berlaku untuk pemberitaan kampanye, penyiaran kampanye, dan iklan kampanye. Aturan itu mengacu Pasal 99 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
Pasal 93 ayat (3) UU Pemilu mengatur media massa cetak dan lembaga penyiaran wajib memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu dalam pemuatan dan penayangan iklan kampanye.
Lalu, pada Pasal 97 disebutkan media massa cetak harus menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita dan wawancara serta pemasangan iklan kampanye bagi peserta pemilu.
Semua itu aturan yang bukan sekadar antidemokrasi karena mengatur pers dengan pola-pola sanksi mirip Orde Baru, melainkan juga dibuat tidak berdasarkan akal sehat. Bangunan argumentasi 'adil' dan 'seimbang' dirumuskan secara sesat dan menyesatkan karena bertolak belakang dengan realitas lapangan.
Kuat sekali aturan itu dibuat dengan hasrat membara ingin mengekang pers. Paradigma yang dikembangkan ialah pers yang bebas adalah gangguan bahkan ancaman, bukan lagi prasyarat dan bagian demokrasi.
Pers pada hakikatnya merupakan pranata sosial yang mendapatkan hak kebebasannya dari masyarakat yang memilik hak untuk mendapatkan informasi. Pers membawakan kepercayaan dari masyarakat. Ujian paling dasar dari pelaksanaan kebebasan pers harus dilakukan dengan mempertanyakan siapa yang diuntungkan pemberitaan.
Kalau jawabannya publik, pers tidak hanya boleh, tetapi juga wajib menggunakan keleluasaannya guna mengumpulkan dan menyebarkan informasi. Siapa saja yang menghalangi atau mengatur pers sama saja dengan mengancam hak publik untuk memperoleh informasi.
Tapi, nafsu mengekang pers itu terus tumbuh. Mereka seperti maling yang selalu siap mencuri harta benda ketika sang pemilik harta lengah.
Karena itu, upaya pengaturan dan pengekangan pers adalah bahaya besar bagi demokrasi yang harus dilawan. KPU sebagai lembaga pelaksana demokrasi tidak boleh membiarkan, apalagi mengikuti logika sesat peraturan yang merampas demokrasi dari tangan publik.

0 komentar: