Kamis, 26 Juni 2008

Gawat Darurat Investasi Kita

SEBAGAI sebuah negara dengan kekayaan alam melimpah dan jumlah penduduk terbesar kelima di dunia, Indonesia mestinya amat menarik bagi investasi. Menarik karena banyak hal bisa digali dari Bumi Pertiwi dengan sumber daya manusia yang sudah tersedia. 
Itulah modal besar bagi bangsa ini untuk menawan hati pemilik modal agar mau menanamkan uang mereka. Tapi, kenyataannya kita selalu bergelut dengan kesulitan demi kesulitan mengundang investasi masuk ke sini. 
Negeri ini bahkan terlalu 'angker' bagi investor asing. Angker karena faktor kepastian yang tidak kunjung datang, birokrasi berbelit-belit dan mengular, infrastruktur yang buruk, buruh yang terus mengancam, hingga jaminan keamanan yang minim. 
Janji memberikan karpet merah dan sejumlah kemudahan masih menjadi retorika yang diulang-ulang. Faktanya, terlalu banyak onak dan duri di jalan masuk menuju investasi. 
Deretan ketidakpastian justru jauh lebih panjang daripada kejelasan. Karena itu, sedikit saja ada perubahan kebijakan, investor pasti menunda investasinya. Bahkan, mereka yang sudah menanamkan investasi di Indonesia langsung angkat koper. 
Itulah misalnya yang terjadi dengan sejumlah investor pabrik sepatu, tekstil, dan investasi yang banyak menyerap tenaga kerja lainnya. 
Kondisi itu jelas merupakan pukulan telak bagi bangsa ini, yang belum diketahui kapan bakal berakhir. Bahkan, data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang dikeluarkan pekan lalu kian membuat bergidik bulu kuduk kita. 
Ada sinyal kuat bahwa realisasi komitmen investasi senilai Rp456,2 triliun bakal ditunda enam bulan hingga sembilan bulan mendatang. Alasannya, sejumlah investor perlu waktu untuk menghitung ulang investasi mereka akibat penaikan harga bahan bakar minyak. 
Itu artinya, hingga akhir tahun ini praktis tidak ada realisasi investasi baru dalam jumlah yang signifikan. Padahal, komitmen investasi pada 2007 lalu tercatat senilai Rp550,1 triliun atau tumbuh 81,1% jika dibandingkan dengan 2006 yang senilai Rp303,7 triliun. 
Tetapi, hingga Mei lalu, realisasi dari komitmen itu baru mencapai Rp93,9 triliun atau sekitar 17%. Sebuah kondisi yang amat jauh dari ideal untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi kita. 
Padahal, sejak 2005, pemerintah selalu mengemukakan akan mengedepankan peningkatan investasi dan ekspor untuk menyokong pertumbuhan ekonomi. Namun, kenyataannya yang dominan menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir adalah sektor konsumsi, bukan sektor riil yang digerakkan investasi. 
Situasi seperti itu sudah tidak bisa dipandang enteng lagi. Ibarat orang sakit, kondisi investasi sudah seharusnya masuk instalasi gawat darurat dan membutuhkan perawatan ekstraintensif. 
Harus ada upaya penyelamatan besar-besaran dan bersifat sangat segera untuk membenahi investasi kita. Semuanya harus dengan langkah nyata, simultan, dan tegas. Babat habis hingga ke akar-akarnya semua hambatan investasi. 
Tidak tersedia waktu lagi untuk meyakinkan investor dengan janji-janji manis rupa-rupa kemudahan. Kampanye paling efektif untuk menarik investor adalah langkah konkret pembenahan yang bisa dilihat, bisa dirasakan, dan bisa dinikmati. Bukan pembenahan yang hanya indah ketika didengar.

0 komentar: