Jumat, 27 Juni 2008

Mengakhiri Rezim Tabu di MA

MAHKAMAH Agung semestinya menjadi istana suci bagi para punggawa hukum yang bijak. Tempatnya bersih dan bebas dari 'sampah'. Para hakim agung adalah orang-orang bestari yang membuat keputusan adil dan jauh dari sumpah serapah pencari keadilan.
Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Mahkamah Agung semakin kencang dicerca. Dicerca karena istana suci itu ternoda dan hakim agung terimbas upeti. Mahkamah Agung berjalan dengan postulat sendiri yang menyimpang dari kaidah hukum umum.
Di tengah era reformasi yang menuntut transparansi, Mahkamah Agung justru mengunci pintu rapat-rapat. Lembaga itu menolak diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
BPK membidik lima rekening atas nama Ketua MA Bagir Manan yang menyimpan dana biaya perkara. Nilainya sekitar Rp7,5 miliar. BPK mencurigai ada yang tak beres.
Sejak tiga tahun silam MA menolak diaudit. Alasannya, biaya perkara bukanlah uang negara, melainkan uang titipan pihak ketiga yang sedang beperkara.
Ketertutupan MA membuat BPK geram. Lembaga audit itu meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa MA. Ketua KPK Antasari Azhar pun sudah menerbitkan surat perintah memulai penyelidikan.
Tim penyidik KPK akan memeriksa mekanisme pemungutan biaya perkara, dasar hukum, serta pemanfaatan dana biaya perkara itu.
Masuknya KPK akan mengakhiri rezim tabu yang selama tiga tahun membalut MA. Tidak boleh lagi ada lembaga yang merasa super dan boleh mengelak dari audit BPK.
Inilah kedua kali KPK terjun ke MA. Pertama dalam kasus dugaan suap perkara kasasi kasus pengusaha Probosutedjo. Kasus yang menyerempet Bagir Manan itu menghukum Harini Wiyoso, pengacara Probo, empat tahun penjara. Probo mengaku telah menebar Rp5 miliar ke MA.
Dugaan suap di MA dan keengganan diaudit serta kasus jaksa Urip Tri Gunawan yang melibatkan elite Kejaksaan Agung kian membenarkan bahwa ruang-ruang keadilan sudah tercemar berat.
MA seharusnya menjadi contoh menghormati hukum dan benteng terakhir pencari keadilan. Jika MA mengelak diaudit dan ruang kerja hakim agung mulai terpolusi, ke mana lagi pencari keadilan hukum menaruh harapan?
Mahkamah Agung seharusnya belajar dari Pengadilan Agama Cilacap, Jawa Tengah, tentang transparansi. Di pengadilan itu seluruh pembiayaan perkara dibayar melalui bank. Itu untuk mengurangi kontak langsung pihak yang beperkara dengan aparat yang menangani perkara. Itu sekaligus mengurangi peluang transaksi ilegal terkait dengan perkara.
KPK sudah mengobrak-abrik lembaga-lembaga yang selama ini terkesan kebal dari pemeriksaan. Kejaksaan, DPR, dan MA sudah mendapat giliran. Irama itu harus dipelihara dan wilayahnya diperluas. Sebab masih terlalu banyak koruptor gentayangan memangsa uang negara.
Kita ingin alat sadap KPK tetap diarahkan kepada pemangku jabatan untuk melacak adanya transaksi dan perdagangan hukum. Kewenangan besar yang dimiliki KPK harus digunakan secara maksimal. Hanya dengan itu mafia hukum bisa dibasmi. Hanya dengan itu institusi hukum bisa menjadi bersih. Harapan yang sangat besar itulah kini digantungkan pada KPK.
Kita tunggu hasil gebrakan KPK di MA.

0 komentar: