Senin, 07 Juli 2008

Cuti Kampanye para Menteri

MENJADI menteri dan pejabat rupanya tetap saja dianggap dan diperlakukan sebagai sebuah privilese daripada kewajiban. Pejabat negara adalah kenikmatan, bukan pengorbanan. Mereka lebih menikmati hak daripada kewajiban. 

Persepsi itulah yang lengket dari aturan Komisi Pemilihan Umum No 19/2008 tentang cuti para menteri selama kampanye pemilihan umum. Menurut aturan itu, para menteri diizinkan berkampanye untuk partainya selama dua hari kerja asal tidak berturut-turut. 

Dengan demikian seorang menteri bisa mengambil cuti pada Senin dan Selasa lalu masuk kerja kembali pada Rabu lalu cuti lagi pada Kamis dan Jumat. Dengan praktik seperti ini seorang menteri bisa bekerja hanya satu hari dalam satu minggu. Artinya, dalam sembilan bulan masa kampanye yang dimulai 12 Juli nanti, para menteri yang berpolitik itu cuma bekerja 36 hari. 

Begitu hebatnya nikmat yang diberikan negara ini kepada semua yang berbau politik. Menteri yang berasal dari partai politik praktis hanya bekerja satu bulan selama sembilan bulan musim kampanye. Politikus di DPR menggerogoti keuangan negara dengan menaikkan gaji serta menciptakan tunjangan yang aneh-aneh untuk kepentingan kantong dan partai mereka. 

Cuti para menteri yang begitu longgar selama kampanye adalah sebuah pengkhianatan besar terhadap tugas dan tanggung jawab menteri sebagai pejabat negara. Mereka dipilih presiden untuk bekerja selama lima tahun, bukan untuk menikmati cuti kampanye yang tidak masuk akal itu. 

Cuti kampanye harus diperlakukan sama dengan cuti pegawai negeri pada umumnya. Yaitu 12 hari dalam satu tahun. Karena itu, para menteri sebaiknya hanya diberi cuti 12 hari selama masa kampanye sembilan bulan itu. Terserah mau digunakan seperti apa, tetapi hanya 12 hari. 

Tidaklah adil--dan boleh dikatakan kejahatan--ketika para menteri yang bekerja hanya sebulan dalam sembilan bulan itu menikmati seluruh hak gaji, tunjangan, dan fasilitas sebagai pejabat negara. 
Itu adalah bentuk-bentuk dari korupsi yang lebih berbahaya, yaitu apa yang disebut dengan state capture corruption--korupsi yang diciptakan negara melalui peraturan. Dalam perspektif tersebut, KPU bisa dituding melakukan kejahatan karena telah menciptakan peraturan yang sangat tidak bertanggung jawab dan koruptif itu. 

Kalau para menteri diberi keleluasaan yang begitu hebat untuk tidak bekerja atas nama kampanye pemilu, bagaimana dengan presiden dan wakil presiden, dua pemimpin negeri yang juga memiliki kepentingan berkampanye? KPU hanya menyerahkan soal ini kepada presiden dan wakil presiden untuk pandai-pandai mengatur jadwal kampanye sendiri. 

Dan, yang lebih mengejutkan lagi, aturan cuti kampanye yang sangat bebas itu tidak disertai sanksi bagi yang melanggar. Cuti seperti itu telah memberi sinyal buruk bahwa inilah negara yang hidup dan berjalan dalam kepedulian yang amat rendah kepada rakyatnya. 

Politik dan birokrasi di Indonesia rupanya tidak berurusan dengan kredibilitas. Bagaimana bisa membayangkan menteri-menteri yang sangat tidak peduli jam kerja di departemen bisa mengikat kepercayaan publik? Bagaimana mereka mengampanyekan kerja keras bila mereka hanya bekerja satu bulan dalam sembilan bulan kampanye? 

Bila dalam sembilan bulan ke depan departemen-departemen berjalan normal-normal saja, mungkin itu sebuah penegasan bahwa sesungguhnya kita tidak memerlukan para menteri itu. Karena tanpa mereka, ternyata roda pemerintahan tetap berjalan.

0 komentar: